Minggu, 18 Desember 2016

Analisis surat Al Alaq 1-5 dan Al Taubah 122

AL QUR’AN SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN
(Analisis surat Al Alaq 1-5 dan Al Taubah 122)

A.    Pendahuluan
Islam adalah satu-satunya agama samawi yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan.Perhatian ini dibuktikan melalui turunnya wahyu pertama Qs. Al-Alaq 1-5.Sebagian mufasirin menyatakan bahwa ayat tersebut sebagai proklamasi dan motivasi terhadap ilmu pengetahuan.Oleh karena itu, kita harus memberikan skala prioritas yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Tanpa itu, kita akan terus daitur, dijajah, dan didekte oleh bangsa lain yang lebih tinggi kemajuan ipteknya. Dengan kemajuan iptek kita dapat mensejahterakan kehidupan umat manusia, dan mengelola alam dengan baik.
Al-Quran merupakan wahyu Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, social, budaya),
merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi grand theory.[1]
Wawasan al-Quran tentang ilmu pengetahuan dalam segala tingkatan yang ada pada hakikatnya bercorak tauhid, yaitu kesatuan pandangan yang menegaskan adanya kesatuan sistem ilmu pengetahuan sebagai proses hubungan dialektis antaradaya-daya ruhaniah manusia dalam usaha memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang terkandung dalam alam, manusia, sejarah, maupun dalam kitab suci.[2]Wawasan tauhid tersebut menuntut adanya suatu metodologi yang memungkinkan wawasan tauhid tersebut dapat diaktualisasikan secara konkret dalam realitas kehidupan.[3]
Karena itu, ilmu pengetahuan yang dalam pendidikan berkedudukan sebagai objek, seharusnya dapat membangkitkan kesadaran spiritual dan meningkatkan tanggung jawab moral manusia pada kehidupan di muka bumi, sehingga kehadirannya memberikan makna dan menjadi rahmat bagi sesamanya.Salah satu di antara ajaran al-Quran adalah perintah untuk mempelajari segala sesuatu, baik yang berhubungan dengan dunia maupun akhirat. Jika kita perhatikan ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah perintah untuk belajar.
Mengenai wahyu pertama dalam surat Al-Alaq tersebut, terdapat khilafiyah dikalangan ulama’, Pendapat minoritas mengatakan bahwa surat yang pertama kali turun yaitu surat Al-Fatihah. Diantara yang berpendapat seperti itu adalah Syekh Muhammad Abduh dengan dalil riwayat Al-Baihaqi yang ternyata haditsnya adalah dho’if, dan dalil naqli (secara akal) yang menyatakan bahwa Allah akan menjelaskan sesuatu dari yang global, sedangkan Al-Fatihah mencakup penjelasan Al-Qur’an secara global.


B.     Pembahasan
a.      Surat Al Alaq 1-5
Artinya:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam.Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."[4]


Identitas: Surat Al-Alaq Makiyah
Iqra terambil dari akar kata yang berarti menghimpun.[5]Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Mustafa Al Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa arti Iqro yaitu Allah menjadikan engkau (Muhammad SAW) bisa membaca dengan kehendakNya yang tadinya engkau tidak bisa membaca. Pakar tafsir yang lain membantah hal ini karena setelah menerima wahyu ini Muhammad SAW tetap tidak bisa membaca. Justru Beliau SAW tidak bisa membaca dan menulis adalah sebuah mu’jizat, karena dengan begitu orang tidak akan ragu mengakui bahwa Al-Qur’an adalah murni wahyu dari Allah SWT tanpa campur tangan Muhammad SAW (Surah Al Ankabut:48).
Hal itu senada dengan penafsiran Hamka terhadap  kataiqra’  dalam surat al-Alaq, bahwa dengan membaca telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya.[6] Dari hasil iqra’  lah umat Islam pernah menduduki masa keemasan dalam berbagai bidang kehidupan.
Ismun ada dua pengertian, asumu berarti tinggi dan asimma berarti tanda. Maksudnya adalah bahwa sebuah nama adalah sebuah tanda dan nama itu ingin selalu ditinggikan. Rabb artinya adalah pemelihara.Wahyu pertama sampai wahyu ke delapan belas tidak pernah menggunakan kata Allah tapi menggunakan kata Robb.Surat ke sembilan belas (Al Ikhlas) baru ditemukan kata Allah untuk menjelaskan tuhan.Ahli tafsir meneliti redaksi ini dan mendapatkan jawaban bahwa ternyata orang kafir zaman dulu sudah mengenal kata Allah.
Kholaqo al Insaana Min Alaq “yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Kholaqo menjadikan atau menciptakan.Menurut ahli tafsir, Allah menggunakan kata kholaqo karena menekankan kekuasaan dan keagungan Allah SWT dalam penciptaan.Berbeda dengan kata ja’ala yang digunakan untuk menekankan manfaat dari ciptaan Allah SWT.Insaan manusia. Menurut Quraish shihab berasal dari 3 kata, nausun artinya dinamis, unsun artinya jinak dan harmonis, nisyun artinya lupa. Oleh karena itu manusia haruslah dinamis, jinak, menyukai keharmonisan dan mempunyai sifat pelupa.
Alaq segumpal darah. Kenapa Allah menggunakan periode ‘Alaq (segumpal darah) dalam pembentukan manusia pada ayat ini? Ahli kedokteran menyebutkan bahwa empat puluh hari pertama setelah pertemuan ovum dan sperma belum menjadi segumpal darah, oleh karena itu banyak yang membantah ‘alaq diartikan sebagai segumpal darah. Quraish Shihab menyatakan al ‘alaq bisa diartikan menggantung, dan ternyata setelah diteliti diketahui bahwa setelah ovum dan sperma bertemu, akan menggantung di rahim. Isyarat bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah) akan kmenghasilkan pengetahuan dan wawasa baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang di kandung Iqra’ wa rabbukal akram.[7]
‘Allama Bil Qolam, Kemudian dengan ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia menyediakan kalam sebagai alat untuk menulis, sehingga tulisan itu menjadi penghubung antar manusia walaupun mereka berjauhan tempat, sebagaimana mereka berhubungan dengan perantaraan lisan. Kalam sebagai benda pada yang tidak dapat bergerak dijadikan alat informasi dan komunikasi, maka apakah sulitnya bagi Allah menjadi Nabi Nya sebagai manusia pilihan Nya bisa membaca, berorientasi dan dapat pula mengajar.
Allah menyatkan bahwa Dia menjadikan manusia dari ‘Alaq lalu diajarinya berkomunikasi dengan perantaraan kalam. Pernyataan ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dari sesuatu bahan hina dengan melalui proses, sampai kepada kesempurnaan sebagai manusia sehingga dapat mengetahui segala rahasia sesuatu, maka seakan-akan dikatakan kepada mereka, “Perhatikanlah hai manusia bahwa engkau telah berubah dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling mulia, hal mana tidak mungkin terjadi kecuali dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Nya.
‘Allamal Insana Maa Lam Ya’ Lam   Kemudian dalam ayat ini Allah menambahkan keterangan tentang limpahan karunia Nya yang tidak terhingga kepada manusia, bahwa Allah yang manjadikan Nabi Nya pandai membaca. Dia lah Tuhan yang mengajar manusia bermacam-macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat baginya yang menyebabkan dia lebih utama dari pada binatang-binatang, sedangkan manusia pada permulaan hidupnya tidak mengetahui apa-apa.Oleh sebab itu apakah menjadi suatu keanehan bahwa Dia mengajar Nabi Nya pandai membaca dan mengetahui bermacam-macam ilmu pengetahuan serta Nabi.
Sedangkan, dalam ajaran Islam sebenarnya tidak dijumpai adanya dikotomi ilmu pengetahuan.Hal ini terbukti dalam sejarahnya, terutama antara abad ke 9-14 M Islam pernah mencatat prestasi yang luar biasa dalam berbagai bidang.Mereka telah membuktikan kesatuan ilmu yang wajib dipelajari. Seperti Ibnu Sina, selain ahli dalam bidang kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, dia juga seorang ulama. Al-Khawarizmi adalah ulama yang ahli matematika.Ibnu Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern.Karya dan penemuan mereka tidak hanya dikenal oleh umat Islam sendiri.
Pendidikan atau tarbiyah dalam bahasa arab, jika dilihat dari sudut pandang etimologi (ilmu akar kata) berasal dari tiga kelompok kata, pertama: raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiya yarba yang berarti menjadi besar. Dan ketiga, rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga, dan memelihara  diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik.[8]
Adapun  pengertian tentang pendidikan, meliputi:
1.        Aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadian dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) dengan jasmani (panca indera serta keterampilan-keterampilan),[9]
2.        Proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan,[10]

Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (fitrah)[11]dasar yang masih perlu dikembangkan.Dalam konteks ini, peserta didik (Insan) merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani ataupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan.  Dari segi rohani, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Allah juga menciptakan alam raya (ardh), yang mana manusia diberi hak untuk memakai dan memanfaatkannya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah: 29 yang artinya “Dia-lah (Allah) yang menciptakan segala apa yang a da di muka bumi untukmu”.  Gambaran yang diberikan oleh al-Qur’an tentang hubungan manusia dengan alam  atau hubungan manusia dengan sesamanya adalah gambaran tentang hubungan pengertian atau persahabatan, karena keduanya sama-sama tunduk kepada Tuhan.[12]
Sebagai khalifah fi al-ardli, Allah membekalinya dengan pengetahuan, dengan mengajarkan kepadanya nama-nama benda. Melalui pengetahuannya, manusia meneruskan tugas penciptaan, yaitu membentuk sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang baru, karena alam yang ada bukan seperti benda cetakan yang sudah selesai, tetapi mengandung potensi perubahan untuk menampung proses kreatifitas manusia sebagai khalifah-Nya.
Dalam al-Qur’an selanjutnya dijelaskan bahwa ada ti ga hal yang menjadi objek kajian ilmu, dan ketiganya merupakan kasatuan perwujudan dari tanda- tanda Tuhan, yaitu[13]:
1)      Ayat-ayat Tuhan yang ada dalam alam semesta.
2)      Ayat-ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah.
3)      Ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci, antara lain al-Qur’an sendiri.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II muncul upaya untuk membangkitkan kembali pengetahuan yang sering disebut sebagai pengetahuan tradisional.Upaya ini dilakukan secara sadar dalam rangka untuk mencari alternatif terhadap ilmu modern yang mengglobal.

b.      Surat At Taubah 122.


وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ 

Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. At- Taubah: 122)[14].

نَفَرَ       : Berangkat Perang
فِرْقَةٍ    : Kelompok Besar
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan.yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah SWT dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.[15]
Menurut riwayat Al-Kalabi dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia mengatakan, “setelah Alloh SWT mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rosul Saw dalam peperangan, maka tidak seorangpun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya.
Agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia. Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan diantara sesama mereka.
            Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya ditempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka.Sehingga mereka tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mu’min.
            Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud seperti ini.Mereka mendapat kedudukan yang tinggi disisi Alloh SWT, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Alloh SWT, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.[16]Berdasarkan keterangan ini, maka mempelajari fikih termasuk wajib, walaupun sebenarnya kata tafaqquh tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu tasawuf dan sebagainya.[17]



KESIMPULAN

Manusia dijadikan dari ’Alaq (yang melekat),   Perintah menyuruh baca kepada Nabi Muhammad saw dan dengan perintah tersebut Nabi terus pandai membaca. Manusia yang pada mulanya tidak mengetahui apa-apa, lalu pandai membaca, menulis dan mendapat ilmu pengetahuan berharga.
Di dalam ayat-ayat ini (surat Al’Alaq) terdapat peringatan tentang awal mula penciptaan manusia adalah dari segumpal darah. Di antara kemurahan Allah ta’ala adalah mengajarkan kepada manusia tentang hal yang tidak mereka ketahui.Lalu Allah mengangkat derajatnya dan memuliakannya dengan ilmu.Ilmu inilah ukuran yang membedakan antara bapak manusia Adam dengan para malaikat.
Ilmu terkadang terdapat di dalam akal pikiran, terkadang di lisan, terkadang di tulisan tangan.Akal, lisan, dan tulisan.Tulisan selalu berkaitan dengan dua hal lainnya, tidak sebaliknya.
Dalam Surat At taubah 122, menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan, yaitu hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak di syari’atkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah tersebut agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.



DAFTAR PUSTAKA

Abudddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir AL-Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
Al-Maroghi, Ahmad Mustofa.Terjemah Tafsir Al-Maroghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya  (Jakarta: Pustaka Amani, 2005).
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 30 (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982).
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam integral; upaya mengintegrasikan kembali dikotomi ilmu dan pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994).
_____________, Wawasan Al Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007).
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993).
Musa Asy’arie, "Epistemologi dalam perspektif pemi kiran Islam", dalam Amin Abdullah, dkk.,Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003).
Musa Asy’arie, "Epistemologi dalam perspektif pemi kiran Islam", dalam Amin Abdullah, dkk.,Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003).
Omar Mohammad at-Toumy al-Syaibani,Falsafah pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung(Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan (Studi kritis terhadap pemikiran pendidikan Fazlur Rahman)  (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006).
Zuhairini, Filsafat pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).


[1] Sutrisno, Pendidikan Islam yang menghidupkan (Studi kritis terhadap pemikiran pendidikan Fazlur Rahman)  (Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hal.  91.
[2]Musa Asy’arie, "Epistemologi dalam perspektif pemi kiran Islam", dalam Amin Abdullah, dkk.,Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hal. 36.
[3]Ibid
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya  (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 904
[5]M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 433
[6]Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 30 (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), hal. 215.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 434
[8]Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam integral; upaya mengintegrasikan kembali dikotomi ilmu dan pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 99
[9]Zuhairini, Filsafat pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 151.
[10]Omar Mohammad at-Toumy al-Syaibani,Falsafah pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal.. 399
[11]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993), hal. 13-4.
[12]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994), hal. 234
[13]Musa Asy’arie, "Epistemologi dalam perspektif pemi kiran Islam", dalam Amin Abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama Dan Umum (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hal.35
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya  (Jakarta: Pustaka Amani, 2005), hal. 277
[15]Al-Maroghi, Ahmad Mustofa.Terjemah Tafsir Al-Maroghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 84-85
[16]Al-Maroghi, Ahmad Mustofa.Terjemah Tafsir Al-Maroghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 83-87
[17]Abudddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir AL-Ayat Al-Tarbawiy), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 159

0 komentar:

Posting Komentar