Selasa, 10 Mei 2022

Siapa Peduli Nasib Anak

Pandemi nampaknya sudah berlalu, namun efek dariWork Form Home (WFH) dimana dua hari libur kerja, menjadikan waktu saya lebih panjang dengan anak-anak di rumah. Saya piker tiga hari itu benar-benar menjadi 24 jam lebih berat dari hari biasanya. Mungkin ini yang banyak di keluhkan para orang tua. Namun menurut saya sebenarnya lebih dari itu, beban sesungguhnya bukan hanya sekedar memberi dan mendampingi pelajaran sekolah, ada yang lupa bahwa karakter dan menanggapi perilaku keseharian saya belum siap.

Begitu banyak waktu di rumah orang tua tidak tahan dengan kebiasaan yang di lakukan si anak. Menonton TV, main game, buka youtube, nyaris 24 jam. Orang tua tidak siap dan uring-uringan akhirnya kebingungan mencari solusinya. Pembatasan waktu saja tidak seefektif yang di harapkan.

Saya pikir ini kendala di banyak tempat. Orang tua yang miskin metode mendidik anak, rutinitas yang berulang bangun pagi, sarapan, menunggu tugas guru sambil nonton TV, akhirnya kejenuhan di rumah membuat situasi jadi monoton baik anak atau orang tua.

Semakin lama anak dan orang tua mengalami hal yang sama, bedanya si anak ingin berontak, si orang tua berinisiatif mengekang. Mulai merasa betapa beratnya tugas guru selama ini, menghadapi perilaku anak yang beraneka macam, di rumah hanya menghadapi dua atau tiga anak saja itupun dari satu turunan yang sama.

Sampai di sini dapat saya gambarkan situasi di rumah yang selalu bersitegang saat menangani perilaku anak sehari-hari. Lalu sebenarnya tugas utama mendidik anak itu siapa? Tentu orang tua bukan?

Namun selama ini gurulah yang dianggap menjadi pemain tunggal mengemban tanggungjawab mendidik anak. Saat pulang kerja orang tua macam saya tinggal evaluasi saja apa pelajaran yang di berikan oleh guru. Sehingga terbiasa lepas tangan dan ketiga ada perilaku menyimpang guru yang di salahkan.

0 komentar:

Posting Komentar